pada blog kedua ini saya membahas sejarah dari perkembangan pendidikan luar sekolah.
Pendidikan Luar Sekolah (PLS) adalah setiap usaha pelayanan pendidikan yang diselenggarakan di luar sistem sekolah, berlangsung seumur hidup, dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana yang bertujuan untuk mengaktualisasi potensi manusia (sikap, tindak dan karya) sehingga dapat terwujud manusia seutuhnya yang gemar belajar-mengajar dan mampu meningkatkan taraf hidupnya.
Pendidikan Luar Sekolah (PLS) adalah setiap usaha pelayanan pendidikan yang diselenggarakan di luar sistem sekolah, berlangsung seumur hidup, dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana yang bertujuan untuk mengaktualisasi potensi manusia (sikap, tindak dan karya) sehingga dapat terwujud manusia seutuhnya yang gemar belajar-mengajar dan mampu meningkatkan taraf hidupnya.
Kegiatan PLS dilakukan secara terprogram, terencana,
dilakukan secara mandiri ataupun merupakan bagian pendidikan yang lebih luas
untuk melayani peserta didik dengan tujuan mengembangkan kemampuan-kemampuan
seoptimal mungkin serta untuk mencapai kebutuhan hidupnya.
PLS sendiri merupakan salah satu terobosan baru dalam
sistem pendidikan Indonesia. Karena itu, ia memiliki sejarah perkembangan
tersendiri sekaligus faktor pendukung perkembangannya.
Pendidikan
Luar Sekolah (PLS)
merupakan salah satu jenis pendidikan
yang diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan non formal yang bukan pendidikan formal dan informal.[1]
Secara sederhana, PLS muncul sebagai
penunjang pendidikan formal yang
sudah terselenggara, yang dirasa belum mampu secara maksimal menghasilkan
lulusan yang sesuai dengan kebutuhan ril dunia kerja dan kehidupan sosial
masyarakat selama ini. Dalam UU
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasal 26 ayat (1)
dijelaskan bahwa “Pendidikan
non formal diselenggarakan bagi warga
masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan
yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan
formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.”
Pada ayat (2) dijelaskan, “Pendidikan non formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik
dengan penekanan pada penguasaan
pengetahuan dan keterampilan
fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian
profesional.”[2] Sementara di ayat (3),
disebutkan bahwa,
“Pendidikan
non formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia
dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, pendidikan
keterampilan dan pelatihan kerja,
pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan
untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.”[3] Lalu ayat (4) menjelaskan
bahwa, “Pelaksanaan satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus,
lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat
kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang
sejenis.”[4]
Terbentuknya Pendidikan Luar Sekolah
(PLS) ditentukan oleh beberapa aspek,
diantaranya:
a.
Aspek pelestarian budaya
Pendidikan
yang pertama dan utama adalah pendidikan yang terjadi dan berlangsung di
lingkungan keluarga dimana (melalui berbagai perintah, tindakan dan perkataan)
ayah dan ibunya bertindak sebagai pendidik. Dengan demikian PLS pada permulaan kehadirannya sangat
dipengaruhi oleh pendidikan atau kegiatan yang berlangsung di dalam keluarga.
Di
dalam keluarga terjadi interaksi antara orang tua dengan anak, atau antar anak
dengan anak. Pola-pola transmisi pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai dan
kebiasaan melalui asuhan, suruhan, larangan dan pembimbingan. Pada dasarnya
semua bentuk kegiatan ini menjadi akar untuk tumbuhnya perbuatan mendidik.
Semua bentuk kegiatan yang berlangsung di lingkungan keluarga dilakukan untuk
melestarikan dan mewariskan kebudayaan secara turun temurun.
Tujuan
kegiatan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan praktis di masyarakat dan untuk
meneruskan warisan budaya yang meliputi kemampuan, cara kerja dan Teknologi
yang dimiliki oleh masyarakat dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
Jadi dalam keluarga pun sebenarnya telah terjadi proses-proses pendidikan,
walaupun sistem yang berlaku berbeda dengan sistem pendidikan sekolah. Kegiatan
belajar-membelajarkan yang asli inilah yang termasuk ke dalam kategori
pendidikan tradisional yang kemudian menjadi pendidikan luar sekolah.
b. Aspek
teoritis
Salah
satu dasar pijakan teoritis keberadaan PLS adalah teori yang diketengahkan
Philip H. Cooms (1973), tidak satupun lembaga pendidikan: formal, informal
maupun nonformal yang mampu secara sendiri-sendiri memenuhi semua kebutuhan
belajar minimum yang esensial.
Atas
dasar teori di atas dapat dikemukakan bahwa, keberadaan pendidikan tidak hanya
penting bagi segelintir masyarakat tapi mutlak diperlukan keberadaannya bagi
masyarakat lemah (yang tidak mampu memasukan anak-anaknya ke lembaga pendidikan
sekolah) dalam upaya pemerataan kesempatan belajar, meningkatkan kualitas hasil
belajar dan mencapai tujuan pembelajaran yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
c. Aspek dasar pijakan
Kalau dirunut sejak awal muncul, ada
tiga dasar pijakan bagi PLS sehingga memperoleh legitimasi dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat yaitu: UUD 1945, Undang-Undang RI Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)[5]
dan Peraturan Pemerintah RI No.73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah (PLS).
Melalui
ketiga dasar di atas dapat dikemukakan bahwa, PLS adalah kumpulan individu yang
menghimpun dari dalam kelompok dan memiliki ikatan satu sama lain untuk
mengikuti program pendidikan yang diselenggarkan di luar sekolah dalam rangka
mencapai tujuan belajar.
Adapun
bentuk-bentuk satuan PLS, sebagaimana diundangkan di dalam UUSPN tahun 1989
pasal 9 : 3
meliputi: pendidikan keluarga, kelompok belajar, kursus dan satuan pendidikan
sejenis. Satuan PLS sejenis dapat dibentuk kelompok bermain, penitipan anak,
padepokan persilatan dan pondok pesantren tradisional.
d. Aspek
kebutuhan terhadap pendidikan
Kesadaran
masyarakat terhadap pendidikan tidak hanya pada masyarakat daerah perkotaan,
melainkan masyarakat daerah pedesaan juga semakin meluas. Kesadaran ini timbul
terutama karena perkembangan ekonomi, kemajuan iptek dan perkembangan politik.
Kesadaran juga tumbuh pada seseorang yang merasa tertekan akibat kebodohan,
keterbelakangan atau kekalahan dari kompetisi pergaulan dunia yang menghendaki
suatu keterampilan dan keahlian tertentu. Atas dasar kesadaran dan kebutuhan
inilah sehingga terwujudlah bentuk-bentuk kegiatan kependidikan baik yang
bersifat persekolahan ataupun di luar persekolahan.
e.
Aspek
keterbatasan
lembaga pendidikan sekolah
Lembaga
pendidikan sekolah yang jumlahnya semakin banyak bersifat formal atau resmi
yang dibatasi oleh ruang dan waktu serta kurikulum yang baku dan kaku serta
berbagai keterbatasan lainnya. Sehingga tidak semua lembaga pendidikan sekolah
yang ada di daerah terpencilpun yang mampu memenuhi semua harapan masyarakat
setempat, apalagi memenuhi semua harapan masyarakat daerah lain. Akibat dari
kekurangan atau keterbatasan itulah yang memungkinkan suatu kegiatan
kependidikan yang bersifat informal atau nonformal diselenggarakan, sehingga
melalui kedua bentuk pendidikan itu kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi.
sumber:
http://kumpulanidependidikan.blogspot.com/2017/03/sejarah-perkembangan-pendidikan-luar.html
http://gilangfebrisusanto.blogspot.com/p/sejarah-pls-fip-uny.html
Komentar
Posting Komentar