Langsung ke konten utama

Program-Program Aktual PLS

Pendidikan Luar Sekolah sendiri memiliki beberapa program aktual yang tentunya masyarakat pasti sudah mengetahui bentuk program tersebut namun tidak mengetahui bahwa program-program tersebut termasuk ke dalam pendidikan luar sekolah. program PLS bertujuan untuk memberikan gambaran yang lebih konkret tentang program-program PLS, berikut diketengahkan beberapa contoh pro­gram PLS yang dewasa ini tengah berkembang dengan pesat di masyarakat.
1)      Program Keaksaraan
Program keaksaraan adalah sebuah program yang dulu dikenal sebagai program Pemberantasan Buta Huruf atau PBH. Saat ini pro­gram tersebut bernama program Keaksaraan Fungsional atau KF. Di tataran internasional program tersebut disebut Literacy Program. Sesuai dengan namanya, program ini dimaksudkan untuk membantu warga masyarakat yang buta huruf untuk menjadi melek huruf. Buta huruf disini diartikan sebagai buta aksara dan angka Latin. Setelah mengikuti program ini peserta didik diharapkan mampu mem­baca, menulis, dan berhitung (calistung) dan memanfaatkan kemam­puan baca tulis tersebut untuk keperluan hidupnya sehari-hari.


2)      Program Kesetaraan dan Homeschooling

Program kesetaraan adalah program PLS yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang setara dengan pendidikan formal. Tingkat pendidikan formal yang diacu kesetaraannnya adalah SD, SMP, dan SMA/SMK. Progam untuk kesetaraan SD disebut Paket A, kesetaraan dengan SMP disebut Paket B, dan kesetaraan dengan SMA/SMK disebut Paket C. Satuan pendidikan yang dijadikan wadah penyelenggaraannnya adalah kelompok belajar (Kejar), sehingga program-program tersebut juga disebut program Kejar Paket A, Kejar Paket B, dan Kejar paket C. Sebagai program pendidikan nonformal yang disetarakan dengan pendidikan formal, maka pro­gram pendidikan ini sekaligus bernuansa ganda yaitu sebagai pendidikan nonformal dan sekaligus pendidikan formal. Peserta didik­nya, misalnya, bisa berusia di luar usia sekolah seperti seseorang yang putus sekolah sudah bertahun-tahun, sudah bekerja, dan sudah berkeluarga. Hal ini merupakan implementasi dari prinsip multi exit dan multi entry dan dimaksudkan agar terjadi perluasan kesempatan bagi warga masyarakat yang membutuhkan pendidikan formal tetapi tidak berkesempatan untuk memperolehnya.

Selanjutnya program homeschooling merupakan sekolah yang dilaksanakan di rumah. Fungsinya adalah sebagai pendidikan kesetaraan, sedangkan pelaksanaannya menggunakan format hybrid atau perpaduan antara pendidikan informal dan nonformal. Selain ditangani sendiri oleh orang tua di rumah, keluarga juga mengundang guru-guru privat untuk membantunya. Jenjang pendidikan yang diselenggarakan mulai dari tingkat prasekolah, pendidikan dasar, hingga pendidikan lanjutan. Untuk memperoleh pengakuan atas pencapaian hasil belajar anak pada setiap tingkat pendidikan, keluarga berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan setempat untuk mendapatkan sekolah afiliasi.


3)      Program Pelatihan dan Kursus
Di dunia perusahaan, training dan sumber daya manusia dikesankan sebagai hal yang sama. Keduanya sebetulnya tidak sama persis. Training merupakan kegiatan pengembangan potensi sumber daya manusia khususnya tentang kompetensi, sedangkan pengem­bangan sumber daya manusia berarti bagian yang mengurus ketena­gaan perusahaan, sehingga relain mengurus training juga peraturan ketenagaan, pendataan, penerimaan, penempatan, dan sebagainya.
Kursus agak berbeda dari pelatihan. Jika pelatihan terkait dengan kebutuhan organisasi, maka kursus terkait dengan kebutuhan individu terlepas dari kepentingan organisasi. Oleh karena itu kursus tumbuh dalam rangka memenuhi aneka ragam kebutuhan belajar masyarakat, meskipun yang telah berkembang luas di Lndonesia adalah bidang-bidang yang terutama terkait dengan kepentingan mencari pekerjaan, membuka usaha, dan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan pelatihan tumbuh untuk memenuhi kebutuhan peningkatan SDM organisasi atau perusahaan.

4)      Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Program PAUD adalah program pendidikan yang diperuntukkan anak usia dini (0-6 tahun). Secara kelembagaan, program tersebut mencakup TPA (Taman Penitipan Anak) untuk anak usia 0-2 tahun, Kelompok Bermain atau Play Group untuk anak usia 3-4 tahun, dan Taman Kanak-kanak (TK) untuk usia 5-6 tahun.
Layanan pendidikan anak usia dini merupakan layanan pendi­dikan yang sangat berbeda dari pendidikan untuk kelompok usia yang lain, seperti anak usia Sekolah Dasar, usia remaja, ataupun orang dewasa.
Persoalan besar yang sedang menjadi fenomena up to date dan autentik di Indonesia saat ini terkait dengan PAUD adalah sebagian besar orang tua kurang paham tentang apa dan bagaimana seharusnya mendidik anak mereka. Padahal fungsi pendidikan di dalam keluarga bagi setiap anak terutama pada usia dini adalah pendidikan infor­mal, sebuah jalur pendidikan yang dipandang sebagai pihak pertama dan utama yang memberikan landasan pembentukan bagi kepribadian manusia Indonesia.

5)      Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills)
Istilah kecakapan disini diartikan sebagai sesuatu yang lebih luas dari sekedar keterampilan. Istilah kecakapan mengandung unsur-unsur kecekatan, kesigapan, dan kecepatan, bahkan kreativitas, kepekaan, ketepatan, ketuntasan, dan kecerdasan dalam bertindak, sedangkan istilah keterampilan cenderung lebih menekankan aspek motorik dan dikaitkan dengan kejuruan atau vokasional (keterampilan kerja). Dengan demikian pendidikan kecakapan hidup mengarah ke pencapaian tingkat kecakapan yang profesional.
Pendidikan kecakapan hidup mencakup empat ranah, yaitu (a) kecakapan personal, (b) kecakapan sosial, (c) kecakapan akademik, dan (d) kecakapan vokasional. Kecakapan personal diartikan sebagai kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan oleh setiap orang guna meng­hadapi persoalan-persoalan pribadi, seperti kecakapan-kecakapan mengenali, menilai, mengendalikan, menyadarkan, dan memperbaiki diri; kecakapan-kecakapan menjaga kesehatan diri, menjaga keamanan diri, membagi waktu, mengambil keputusan, menentukan sesuatu yang paling urgen bagi diri sendiri, dan mengatasi kebingungan diri sendiri; kecakapan-kecakapan menentukan, mengarahkan, dan memperbaiki tujuan hidup; kecakapan-kecakapan mengenal, memperbaiki, dan meningkatkan kualitas keyakinan dan pengabdian terhadap tuhan; dan sebagainya.
Kecakapan sosial diartikan sebagai kecakapan-kecakapan berinteraksi dengan orang lain, seperti kecakapan memahami orang lain, kecakapan bertutur kata secara lisan ataupun tertulis, kecakapan membawa acara, kecakapan berorasi, kecakapan menyesuaikan kecakapan memotivasi orang lain, kecakapan membantu sesama, dan kepekaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Kecakapan akademik berarti kecakapan-kecakapan yang terkait dengan urusan akademik, mulai dari kecakapan-kecakapan kognitif seperti memahami, membe­dakan, mengingat, mengaitkan sesuatu, berfikir logis, menganalisis, merangkai pengertian, menyimpulkan, menilai, mengembangkan penalaran, dan memecahkan masalah, hingga kecakapan-kecakapan menangkap dan menemukan konsep, prinsip ataupun teori, serta kecakapan-kecakapan menganalisis, menemukan, dan mengembang­kan .gagasan ataupun teori baru. Selanjutnya kecakapan vokasional adalah kecakapan-kecakapan yang terkait dengan pekerjaan atau profesi, seperti kecakapan melaksanakan tugas dengan baik dan benar, kecermatan dalam memeriksa pelaksanaan tugas, kepekaan terhadap masalah-masalah pekerjaan, kesigapan dalam mengatasi masalah keselamatan kerja, kreativitas dalam mengembangkan bidang tugas, dan kearifan dalam memimpin lembaga kerja.

6)      Program Pemberdayaan Masyarakat
Program pemberdayaan masyarakat adalah sebuah program yang dulu dikenal dengan istilah pengembangan masyarakat (com­munity development) atau pembangunan masyarakat desa (rural development). Program tersebut saat ini mengacu ke istilah yang baru, yaitu community empowerment. Secara konseptual, program ini sejalan dengan tipe program developmental yang diketengahkan oleh Boyle (1981). Yang menjadi sasarannya adalah komunitas dan yang menjadi inti kegiatannya adalah membantu untuk mengatasi masalah yang sedang mereka hadapi bersama. Cara yang ditempuh dalam hal ini adalah mengembangkan potensi, kapasitas, atau kemampuan komunitas yang bersangkutan, baik kapasitas individu, kelompok, ataupun kelembagaannya, sedangkan target keluarannya adalah meningkatnya kemampuan masyarakat dalam mengatasi masalah tersebut.
Oleh karena itu yang diberdayakan adalah kapasitas komunitas, termasuk potensi individu, organisasi, dan lingkungannya. Pemberda­yaan dilakukan dalam bentuk pembimbingan ke arah pemecahan masalah dan bukan dalam bentuk pemberian solusi slap pakai, atau "hidangan siap santap". Komunitas digugah kesadarannya terhadap masalah yang sedang mereka hadapi dan dampaknya bila masalah tersebut tidak segera diatasi, serta potensi yang mereka miliki atau fasilitas yang bisa dimanfaatkan, dimotivasi untuk bersedia dan ber­upaya mengatasi masalah tersebut, dibantu mengidentifikasi potensi atau sumber daya yang ada pada diri mereka dan di lingkungannya, dan dibimbing ke arah penemuan solusi yang tepat, serta diberi pendampingan dalam proses penuntasan masalahnya.

7)      Program Pengentasan Anak Jalanan
Masalah anak jalanan di Indonesia dewasa ini semakin menge­muka, terutama di kota-kota besar. Jumlah mereka semakin bertam­bah. Rujukan penanganannya tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 34 ayat (1) yang berbunyi: "Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara". Implementasi penanganannya telah dilakukan oleh berbagai pihak, namun secara keseluruhan belum menampakkan hasil yang berarti. Segi-segi penanganan yang dibutuh­kan beraneka ragam, di antaranya adalah sosial-ekonomi, keamanan, budaya, dan keagamaan. Masalah anak jalanan di Indonesia tampaknya merupakan masalah yang sangat kompleks karena terkait dengan ketakberdayaan sosial ekonomi, sosial psikologis, kultural, edukatif, dan bahkan sumber daya manusia nasional. Oleh karena itu untuk bisa mengatasinya secara lebih tuntas diperlukan pemikiran yang lebih serius dan penanganan yang lebih menyeluruh.

sumber:
http://nferciindonesia.blogspot.com/2013/04/metode-pembelajaran-pls-m-djauzi.html





Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan Pendidikan Formal dan Pendidikan Non Formal

hallo teman-teman pada kesempatan ini saya akan membahas perbedaan pendidikan formal, pendidikan non formal dan pendidikan informal. 1. Pendidikan formal Pendidikan formal adalah pendidikan yang ditempuh pada lembaga resmi/legal baik negeri (milik pemerintah) ataupun swasta (atas izin pemerintah) yang memiliki tahapan atau jenjang pendidikan yang sangat jelas. Dalam pendidikan Formal di Indonesia terbagi menjadi Tingkat dasar yaitu Sekolah Dasar, tingkat menengah, yaitu SMP maupun SMA/SMK (dan yang sederajat) dan Tingkat Tinggi yaitu Perguruan Tinggi/ Sekolah Tinggi atau Universitas. Peserta didik  menempuh pendidikan Formal ini berbatas waktu, untuk sekolah Dasar 6 Tahun, Menengah 6 Tahun (SMP + SMA/SMK) sedangkan sekolah tinggi biasanya tergantung jurusan dan jenjang yang ditempuh dan biasanya lebih fleksibel. Misalkan untuk mengambil jenjang Strata 1 (S1) rata-rata sekitar 4 tahun, untuk Diploma 3 (D3) 3 tahun dan seterusnya. Pendidikan formal memiliki ciri Kuri

Kekuatan dan Kelemahan Pendidikan Luar Sekolah

Pendidikan Luar Sekolah (PLS) atau non-formal education, setiap sesuatu itu pastilah ada keunggulan dan kelemahannya maka dari itu disini akan menjelaskan tentang keunggulan dan kelemahan dan Pendidikan Luar Sekolah. Keunggulan dari Pendidikan Luar Sekolah,  pertama lebih murah dari pendidikan formal ( sekolah), karena adanya program-program pendidikan yang dilakukan dalam waktu singkat untuk kebutuhan khusus seperti ujian paket A,B,C dan sebagainya, bisa juga dikurangi biaya dengan menggunakan fasilitas sebaik mungkin, membuat alat-alat belajar dengan memanfaatkan bahan sekitar dan harga yang murah, membuat kegiatan berusaha dan dapat menggukan dana pendidikan yang diambil dari hasil pemasaran produksi. Itu bisa membuat pengeluaran menjadi hemat bahkan bisa memberikan pemasukan.  Yang kedua, program-program pendidikan luar sekolah itu lebih berkaitan dengan kebutuhan masyarakat, bukan mengutamakan kebutuhan penyelenggara, karena program pendidikan itu harus mementi